Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat dari Desa
https://kawaldesaku.blogspot.com/2016/01/meningkatkan-kesejahteraan-rakyat-dari.html
Dana desa sebagaimana
yang diamanatkan dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, menjadi ‘angin
segar’ bagi masyarakat desa untuk menggiatkan pembangunan desa agar
ketimpangannya dengan kota menjadi lebih sempit. Komitmen pemerintah
untuk membangun Indonesia dari pinggiran diaktualisasikan dengan
menganggarkan dana desa dalam APBNP-2015 sebesar Rp20,7 triliun untuk
dibagikan kepada 74.093 desa. Jumlah dana desa yang diterima
kabupaten/kota bervariasi, dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka
kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis.
Dalam pasal 72 UU No. 6
Tahun 2014 tentang Desa dinyatakan bahwa dana desa merupakan salah satu
dari beberapa sumber pendapatan desa. Sumber pendapatan desa lainnya
dapat berasal dari Pendapatan Asli Desa (PADes) seperti pendapatan dari
hasil usaha, hasil aset, swadaya masyarakat, gotong royong, dan
lain-lain; ADD (Alokasi Dana Desa) yang bersasal dari APBD Provinsi dan
APBD Kabupaten/Kota; hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak
ketiga dan lain-lain pendapatan desa yang sah. Untuk itu, pemerintah
desa harusnya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat desa asalkan
sumber pendanaan tersebut digunakan untuk belanja program-program
pembangunan desa yang tepat.
Berkaitan dengan belanja
desa, dalam Pasal 74 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan bahwa
belanja desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan desa
yang disepakati dalam Musyawarah Desa dan sesuai dengan prioritas
pemerintah daerah dan pusat. Belanja pembangunan desa tersebut tidak
terbatas pada kebutuhan primer dan pelayanan dasar saja, tetapi juga
untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat desa.
Dengan demikian belanja
desa dapat membiayai kegiatan-kegiatan sepanjang untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat desa dan kesejahteraan masyarakat desa. Jumlah
dana desa yang diberikan pemerintah melalui Kementerian Keuangan
(Kemenkeu) secara rata-rata satu desa pada tahun 2015 memperoleh dana
desa sebesar Rp300 juta.
Tahun 2016, dana desa
akan meningkat menjadi Rp700 juta perdesa. Ditambah dengan ADD,
pemerintah desa akan memperoleh pendapatan hingga Rp1 miliar hingga
Rp1,2 miliar. Jika pemanfaatan dana sebesar ini tidak optimal, maka
tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat desa sangat mungkin tidak
terwujud. Apalagi jika sumber dana yang besar tersebut diselewengkan.
Untuk mencairkan dana
desa, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan. Pertama, daerah
(kabupaten/kota) harus mampu memenuhi 2 (dua) syarat yaitu: (1)
Pemerintah kabupaten/kota telah membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang
APBD kabupaten/kota yang telah dievaluasi dan disahkan oleh Gubernur
yang di dalamnya memuat pos anggaran dana desa yang berasal dari APBN;
(2) Peraturan Bupati/Walikota tentang rincian dana desa untuk setiap
desa di kabupaten/kota yang bersangkutan.
Kedua, setelah dana desa
masuk ke RKUD (Rekening Kas Umum Daerah), dana desa akan dapat
dicairkan ke Rekening Kas Desa (RKD) jika desa telah menyiapkan
peraturan desa tentang APBDes (Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa).
Mekanisme pencairan yang cukup banyak dan panjang, mengakibatkan tidak
semua desa dapat mencairkan dana desanya tahun ini. Penyaluran dana desa
menjadi terkendala di sejumlah daerah, akibat pemda terlambat membuat
perda yang disyaratkan.
Selain itu, dana desa
yang telah tersimpan di kas daerah terkendala pencairannya ke rekening
desa akibat penyediaan dokumen pendukung oleh pemerintah desa.
Ketidaksiapan dalam penyiapan dokumen ini bersumber dari ketidakmampuan
aparatur desa untuk menyusun dokumen yang disyaratkan.
Kekhawatiran ini
sepertinya terjadi. Hingga Oktober 2015, Kementerian Desa
menginformasikan bahwa 80,0 persen dana desa (Rp16,09 triliun) telah
masuk ke RKUD. Namun, pencairan ke RKD baru mencapai 53,05 persen
(Rp8,53 triliun) saja.
Kalaupun dana desa telah
cair ke RKD, masalah lain yang berpotensi untuk mencuat adalah
kesalahan dalam menyusun anggaran dan penyelewengannya. Persoalannya
bukan semata lemahnya SDM dalam mengelola peruntukan dana desa,
melainkan juga ketidaksiapan mental aparat desa.
Untuk menghadapi
mentalitas koruptif aparat desa, perlu diberikan sejumlah program
pembangunan kapasitas seperti pelatihan aparatur dan juga pengawasan
yang mempersempit ruang bagi tindak penyalahgunaan dengan memperkuat
pendampingan dan pengawalan pengelolaan dana desa secara sistemik.
Untuk menjamin
transparansi penggunaan dana desa, pemerintah dapat melakukan sejumlah
strategi. Pertama, memberdayakan kembali tenaga pendamping yang pernah
mendukung program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Tenaga pendamping PNPM terbukti berhasil dalam mengawasi penggunaan dana
pembangunan perdesaan, dengan menekan kebocoran dana hingga 0,1 persen.
Berdasarkan catatan
Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (IPPMI), PNPM telah
memberi manfaat bagi 13,3 juta Rumah Tangga Miskin (RTM), menyerap 11
juta tenaga kerja, dengan tingkat partisipasi masyarakat desa mencapai
60 persen dan 48 persen diantaranya perempuan. PNPM juga telah
meningkatkan modal sosial berupa gotong-royong dan swadaya masyarakat,
serta mendorong efisiensi pelaksanaan kegiatan swakelola oleh kelompok
masyarakat.
Kedua, program
pembangunan desa yang diajukan merupakan hasil musyawarah desa yang
kemudian wajib diumumkan secara transparan menggunaan papan pengumuman
yang diletakkan di depan kantor kepala desa.
Dengan begitu,
masyarakat terlibat secara langsung mengawasi penggunaan dana desa.
Sebagai indikator keberhasilan, aparatur desa juga harus mengumumkan
capaian perubahan kesejahteraan rakyat desa setelah dilaksanakannya
program-program yang menggunakan dana desa.
Sebagai penutup, dengan
anggaran desa yang terus meningkat, pemerintah desa diharapkan dapat
mengembangkan kualitas SDM dan kesejahteraan masyarakatnya. Cita-cita
tersebut akan lebih cepat terwujud, jika didukung oleh integritas,
kreasi dan inovasi aparatur desa dalam menjalankan ‘roda’ pemerintahan
desa. Dengan demikian, dana desa akan cepat membawa perubahan ke arah
yang lebih baik dan akhirnya meningkatnya kesejahteraan masyarakat desa.
Oleh Wahyu Ario Pratomo,
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USU, Ekonom Regional Kementerian
Keuangan RI Wilayah Sumatera Utara. (Sumber: Media Keuangan Kemenkeu)